Welcome to My HELLLLLLL

BlogKitaShare.blogspot.com

Kamis, 28 Oktober 2010

Strategi Van Peursen

Prof. Dr. C. A. Van Peursen mencetuskan Bagan Tiga Tahap Kebudayaan. Adapun ketiga tahap dalam bagan ini ialah: tahap mitis, tahap ontologis dan tahap fungsionil. Yang dimaksudkan dengan tahap mitis ialah sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif. Dimana dalam kebudayaan modern pun sikap mitis ini masih terasa. Tahap yang kedua atau tahap ontologis adalah http://www.blogger.com/sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakekat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu). Kita akan melihat, bahwa ontologi itu berkembang dalam lingkungan-lingkungan kebudayaan kuno yang sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan. Tahap ketiga atau fungsionil ialah sikap dan alam pikiran yang makin nampak dalam manusia modern. Ia tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungannya (sikap mitis), ia tidak lagi dengan kepala dingin ambil jarak terhadap obyek penyelidikannya (sikap ontologis). Bukan, ia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya. 7
Tahap-tahap tersebut saling memperlihatkan sesuatu yang terkandung dalam setiap kebudayaan, oleh karena itu tidak dapat dipandang secara historis semata-mata karena tahap ini muncul sesudah tahap yang lebih dahulu. Karena yang akan diusahakan disini bukan menyusun suatu sejarah kebudayaan, melainkan membuka jalan sehingga kita mampu untuk menilai perkembangan kebudayaan kita sendiri sacara kritis. 8
Dalam tahap mitis manusia belum mempunyai kesadaran akan identitasnya sendiri, kekuasaan para dewa yang meresapi manusia dan benda-benda, nilai-nilai yang terjalin dengan hubungan keluarga dan suku, kurangnya kesadaran historis—semuanya memperlihatkan pola dasar dalam pikiran mitis yaitu bahwa manusia dan dunia saling
Meresapi. 9 Dalam tahap mitis ini dapat dilihat bahwa manusia berusaha untuk mentransendensensikan hidupnya melalui daya-daya kekuatan alam yang mereka percayai berasal dari dewa-dewa dan memiliki suatu kekuatan gaib, misalnya dalam suku tertentu di wilayah Afrika sering diadakan upacara-upacara mitologis yang diadakan untuk meminta hujan kepada para dewa-dewa, setelah upacara dilaksanakan tidak lama kemudian hujan pun turun, seakan para dewa menyanggupi permintaan dalam upacara yang diadakan suku tersebut, lambat laun masyarakat mempercayai bahwa upacara tersebutlah yang sebenarnya dapat menurunkan hujan bukanlah kekuasaan para dewa, maka muncullah efek negatif yang ada pada tahap mitis yaitu magis, dimana magis itu sendiri adalah suatu usaha dengan alat dan cara tertentu (misalnya mantera-mantera atau alat-alat khusus yang diwariskan secara turun-temurun) untuk memperalat kontak antara masa kini dengan jaman bahari yang penuh mitos-mitos guna menguasai sesama manusia dan daya kekuatan alam. 10
Magis mengakibatkan hilangnya kepercayaan terhadap kekuasaan para dewa atau kekuasaan daya tertinggi yang diyakini oleh manusia, magis mengimanensi mitis. Jika magis berhasil menonjolkan efeknya dalam suatu kebudayaan, maka semua yang telah dilakukan untuk mentransendensi kehidupan, segala tradisi-tradisi, upacara-upacara, nilai-nilai direndahkan dan hanya dianggap sebagai pelengkap karena kebiasaan saja, tahap mitis kehilangan kekuatannya, para dewa tidak lagi memiliki peran dalam upacara sehingga manusia menjadi sombong dan angkuh akan kepandaiannya, terutama golongan yang memiliki peran yang sangat penting dalam upacara, misalnya imam atau dukun yang mengetuai upacara minta hujan tersebut, dia dianggap sebagai orang yang paling menguasai tata cara dan keberlangsungan upacara, tanpa kehadirannya upacara seakan menjadi satu hal yang mustahil. Hal ini mengakibatkan pengagung-agungan para dukun atau imam upacara tersebut, seolah-olah mereka dianggap sebagai pengganti atau penjelmaan para dewa. Kekuasaan yang dimiliki para dukun dalam sebuah suku tertentu pada akhirnya hingga turun temurun memiliki kasta tersendiri yang tingkatnya dianggap lebih tinggi daripada orang-orang biasa, kekuasaan tersebut dapat menjadi suatu kediktatoran melebihi kekuasaan yang dimiliki oleh kepala suku.
Dalam jaman modern daya-daya produksilah yang mengembangkan kesejahteraan dan kemungkinan-kemungkinan hidup. Dan dalam masyarakat kita pun yang ditandai oleh nafsu konsumsi kelihatan sikap-sikap yang serupa, yang mau main dominasi: mendobrak rintangan-rintangan bagi pemasaran produk-produknya, memaksa orang lain untuk membeli produk-produk tertentu, memperalat sesama manusia. 11 Persamaan timbulnya efek magis dalam tahap mitis antara jaman modern dan jaman primitif misalnya dapat digambarkan melalui efek negatif kediktatoran antara kekuasaan dukun di Afrika pada jaman dulu dan kekuasaan borjuis/kapitalis modal pada jaman modern:
Dukun di Afrika pada jaman primitif:
1.Menjalankan suatu rezim kediktatoran terhadap sukunya,
2.Warga sukunya seolah-olah terkurung oleh ketakutan demonis,
3.Meskipun sebetulnya yang menjalankan kekuasaan bukan satu orang individu (kepala suku, dll) tetapi dukun seolah-olah merupakan penjelmaan dari kekuasaan suku.

Kaum borjuis/kapitalis modal pada jaman modern:
1.Menjalankan suatu rezim kediktatoran terhadap masyarakat melalui produk-produknya yang meski kita butuhkan atau tidak tetap menguasai kehidupan masyarakat,
2.Masyarakat seolah-olah membutuhkan produk-produk tersebut hingga akhirnya menjadi masyarakat konsumsi,
3.Masyarakat dikuasai dan dipimpin oleh pemerintah tetapi kaum borjuis sebagai pemilik modal seolah-olah merupakan penjelmaan dari kekuasaan dan kepemimpinan pemerintah, atau dengan kata lain modal/uang yang membeli kekuasaan.
Gambaran tersebut memberi kita informasi bahwa munculnya efek negatif tahap mitis berupa magis menimbulkan terkurungnya kembali manusia pada suatu fakta-fakta kehidupan, sehingga magis mengembalikan manusia ke dalam lingkaran imanensi.
Selain digambarkan melalui kekuasaan kaum kapitalis, efek magis di jaman modern juga timbul dalam berbagai bidang. Beberapa efek magis yang baru-baru ini muncul seperti misalnya batu bertuah milik Ponari atau pohon menangis yang terdapat di jawa barat, konon dipercaya berkhasiat untuk menyembuhkan segala jenis penyakit, sekali lagi manusia kembali terjebak dalam lingkaran imanensi, dikarenakan masyarakat mempercayai bahwa kesembuhan diperolah langsung dari batu bertuah tersebut/Ponari yang mencelupkan batu ke dalam air (dipercaya juga bahwa jika bukan Ponari yang mencelupkan batu, maka airnya tidak lagi berkhasiat), atau langsung dari pohon keramat tersebut, manusia mulai melupakan keberadaan Sang Pemberi kesembuhan, manusia ter-imanensi, dan tahap mitis mulai mencari-cari suatu pembebasan akan efek negatif ini.
Pembebasan akan magis muncul dalam tahap kebudayaan yang kedua yaitu tahap kebudayaan Ontologis, dimana dalam tahap ini manusia mulai menanyakan hakekat sesuatu, hakekat dirinya, hakekat benda-benda yang ada disekitarnya, hakekat alam atau dunia, selain itu dengan kemampuan transendensi manusia mulai mencari daya-daya yang lebih kuat dan sempurna dibandingkan segala sesuatu yang pernah dilihatnya, dan juga mulai menanyakan apakah terdapat kekusaan yang Maha Tinggi yang berada di atasnya. Lewat tahap ini manusia membuat peta mengenai segala sesuatu yang mengatasi manusia, 12 manusia mulai mempercayai bahwa diluar segala sesuatu yang ada pada jagad raya, dunia dan segala isinya terdapat Yang serba transenden dan Dialah yang memberi hakekat pada segala sesuatu. Karena manusia memberikan hakekat dan mendefinisikan segala sesuatu, maka muncullah pembatasan-pembatasan terhadap segala hal, tercipta norma-norma, hukum dan tata tertib yang harus dipatuhi oleh masyarakat, manusia memberikan nilai-nilai kepada segala sesuatu. Dikarenakan manusia yang telah meninggalkan dunia mitis ingin melihat dengan jelas jalan mana yang ditempuhnya. Itulah sebabnya ia menyusun hukum-hukum bagi kehidupan dalam masyarakat, ia menyusun sebuah tata negara, mengajarkan moral; pembaharuan religius dan politis memperjuangkan nilai-nilai moril. Manusia mendefinisikan nilai-nilai. 13
Efek negatif yang ada pada tahap ini disebut dengan Substansialisme, yaitu sesuatu yang dapat berdiri sendiri, yang mempunyai landasan sendiri dan tidak perlu bersandar pada sesuatu di luarnya. 14 Sehingga segala sesuatu yang pada mulanya tumbuh bersama kini mulai terpisah-pisah dan terputus, muncul adanya kelompok-kolompok di masyarakat, kehidupan manusia ditandai dengan adanya sekat-sekat. Substansialisme berarti segala sesuatu yang tidak bernilai, tidak ada hakekatnya harus dimusnahkan karena tidak sesuai dengan pencapaian yang ingin dituju oleh ontologis.
Substansialisme pada akhirnya dibebaskan oleh tahap yang ketiga yaitu tahap fungsionil, tahap kebudayaan yang sangat mencirikan kebudayaan modern. Dalam pemikiran fungsionil manusia tidak lagi mencari hakekat ataupun nilai-nilai atas segala sesuatu melainkan mengutamakan arti atau fungsi yang melandasi sesuatu. Fungsionil menciptakan suatu globalisasi dalam dunia manusia, tidak ada lagi sekat ataupun pemisah antara yang satu dengan yang lain selama itu bertujuan untuk mencapai fungsionalitas yang sama. Tahap fungsionil memahami arti dan makna sesuatu berarti, bahwa arti tersebut dapat dinyatakan dalam praktek, 15 ini menjelaskan bahwa sesuatu berarti jika dapat diwujudkan secara real dalam suatu praktek, atau dengan kata lain segala sesuatu berarti jika memiliki fungsi atau berguna bagi kehidupan manusia.
Efek negatif yang dimiliki oleh tahap fungsionil adalah operasionalisme, yaitu suatu usaha untuk memutlakkan cara-cara berbuat sesuatu (operasi). Operasionalisme menjadikan segala sesuatunya terencana dan terukur secara pasti, hal tersebut demikian melanda kehidupan manusia sehingga menjadikan manusia seperti mesin atau robot yang dikendalikan oleh sistem. Secara gamblang, operasionalisme menuntun manusia ke dalam suatu kehidupan yang egois.
Untuk mempermudah dalam menggambarkan pemikiran ontologis dan fungsional, mari kita ambil contoh kehidupan manusia sehari-hari: seorang turis perempuan yang berasal dari Eropa sedang berlibur musim panas ke Yogya, Indonesia. Minimnya kehangatan sinar matahari yang ada di Eropa menimbulkan keinginan turis tersebut untuk mandi matahari di Indonesia, maka sesampainya di Yogya dia menggunakan busana yang tidak seharusnya dipakai untuk berjalan-jalan (misalnya baju renang), karena hal tersebut berfungsi untuk memudahkan sinar matahari menjangkau kulitnya. Pengagungan fungsi atas segala sesuatu menimbulkan operasionalisme, yaitu sikap sistematis, praktis dan menilai keefektifan sesuatu tanpa menyadari adanya jiwa atau ruh yang mendasari segala sesuatu, manusia menjadi egois dan memperinci segala sesuatu untuk dijadikan rumus-rumus, mengukur segala sesuatu dari sudut apakah hal tersebut berfungsi atau tidak. Sehingga mulai muncul anggapan bahwa manusia di belahan bumi ini sama dengan manusia di belahan bumi yang lain, permintaan dan keinginan manusia disini juga sama dengan yang disana, efek negatif dari globalisasi. Pada akhirnya manusia tidak lagi dianggap sebagai individu tetapi sebagai kelompok atau geng tertentu. Sekali lagi manusia terkurung dalam imanensi, terkurung dalam operasi-operasi saja. 16 Sedikit demi sedikit hilanglah sifat manusiawi yang seharusnya dimiliki oleh manusia.

Udah dulu yak??? Males tenan gawe script tampilan sing apik. Batre leptop q ntek ndeee.... Kasih tengkyu ja cukup... hehehe

2 komentar: